Saturday, January 13, 2018

Hukum Wudhu Sebelum mandi

Wudhu Sebelum Mandi

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Hadist Ahkam II

Disusun Oleh :

SAFRIZAL : 161200037




PROGRAM STUDY HUKUM KELUARGA
FAKULTAS ILMU SYARIAH

SEKOLAH TINGGI ILMU SYARIAH NADHLATUL ULAMA ACEH
BANDA ACEH
(STIS NU ACEH 2018/2019)

عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ إِذَا اغْتَسَلَ مِنَ الْجَنَابَةِ بَدَأَ فَغَسَلَ يَدَيْهِ ، ثُمَّ يَتَوَضَّأُ كَمَا يَتَوَضَّأُ لِلصَّلاَةِ ، ثُمَّ يُدْخِلُ أَصَابِعَهُ فِى الْمَاءِ ، فَيُخَلِّلُ بِهَا أُصُولَ شَعَرِهِ ثُمَّ يَصُبُّ عَلَى رَأْسِهِ ثَلاَثَ غُرَفٍ بِيَدَيْهِ ، ثُمَّ يُفِيضُ الْمَاءَ عَلَى جِلْدِهِ كُلِّهِ
Dari ‘Aisyah, isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bahwa jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi junub, beliau memulainya dengan mencuci kedua telapak tangannya. Kemudian beliau berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat. Lalu beliau memasukkan jari-jarinya ke dalam air, lalu menggosokkannya ke kulit kepalanya, kemudian menyiramkan air ke atas kepalanya dengan cidukan kedua telapak tangannya sebanyak tiga kali, kemudian beliau mengalirkan air ke seluruh kulitnya.” (HR. Bukhari : 248)
Keterangan Hadist
(Wudhu sebelum mandi), Maksudnya disukai wudhu sebelum mandi wajib. Imam Syfi’i dalam kitabnya Al-Umm, “Allah S.W.T. mewajibkan mandi secara mutlak (tanpa batas) dengan tidak menyebutkan satu perbuatanpun yang harus dilakukan sebelumnya. Bagaimana cara seseorang mandi, maka sudah cukup dengan syarat membasuh (mengalir air) keseluruh tubuhnya. Adapun cara yang paling baik adalah sebagaimana yang diriwayatkan Aisyah.”
Hadist yang disebutkan dalam bab ini juga dikutip dari Imam Malik dengan silsilah periwayatnya, sebagaimana dalam kitab Al-Muaththa’, Ibnu Abdil Barr mengatakan bahwa hadist tersebut adalah hadist yang paling baik yang diriwayatkan dalam bab ini. Aku (Ibnu Hajar) katakan, : “Hadist ini juga diriwayatkan dari Hisyam Ibnu Urwah oleh beberapa orang ahli hadist selain Malik seperti yang akan dijelaskan.”
كَانَ إِذَا اغْتَسَلَ (apabila Beliau mandi), yakni memulai mandi. Lafazh مِنَ pada kalimat مِنَ الْجَنَابَةِ berfungsi sebagai keterangan sebab (sababiyah).
بَدَأَ فَغَسَلَ يَدَيْهِ (Beliau memulainya dengan mencuci kedua tanyannya), kemungkinan bahwa mencuci kedua tangan ini termasuk hal yang disyariatkan sebagaimana waktu bangun tidur. Kemungkinan ini dikuatkan dengan riwayat Uyainah dari Hisyam, yang mrnambahkan lafazh qabla an yudkhila huma fil inaai (sebelum ia memasukkan keduanya kedalam bejana). Ada juga kemungkinan maksudnya adalah membersihkan tangannya dari kotoran, sebagaimana yang terdapat dalam hadist Maimunah :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَتْ مَيْمُونَةُ وَضَعْتُ لِرَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – مَاءً يَغْتَسِلُ بِهِ ، فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ ، فَغَسَلَهُمَا مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا ، ثُمَّ أَفْرَغَ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ ، فَغَسَلَ مَذَاكِيرَهُ ، ثُمَّ دَلَكَ يَدَهُ بِالأَرْضِ ، ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ ، ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ ثُمَّ غَسَلَ رَأْسَهُ ثَلاَثًا ، ثُمَّ أَفْرَغَ عَلَى جَسَدِهِ ، ثُمَّ تَنَحَّى مِنْ مَقَامِهِ فَغَسَلَ قَدَمَيْهِ
Dari Ibnu ‘Abbas berkata bahwa Maimunah mengatakan, “Aku pernah menyediakan air mandi untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau menuangkan air pada kedua tangannya dan mencuci keduanya dua kali-dua kali atau tiga kali. Lalu dengan tangan kanannya beliau menuangkan air pada telapak tangan kirinya, kemudian beliau mencuci kemaluannya. Setelah itu beliau menggosokkan tangannya ke tanah. Kemudian beliau berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung. Lalu beliau membasuh muka dan kedua tangannya. Kemudian beliau membasuh kepalanya tiga kali dan mengguyur seluruh badannya. Setelah itu beliau bergeser dari posisi semula lalu mencuci kedua telapak kakinya (di tempat yang berbeda).” (HR. Bukhari : 249)
Demikian diriwayatkan oleh Imam Syafi’i dan Tirmidzi.Ia juga menambahkan stumma yahgsilu farjahu (kemudia mencuci kemaluannya). Demikian  juga diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Mu’awiyah seperti dikutip oleh Abu Daud dari Hammad bin Zaid, keduanya dari Hisyam.
Tambahan keterangan ini merupakan hal yang sangat berharga, karena dengan mencuci kemaluan terlebih dahulu dapat lebih memberi rasa aman bagi seseorang untuk tidak menyentuhnya saat mandi.
كَمَا يَتَوَضَّأُ لِلصَّلاَةِ (sebagaimana wudhu untuk shalat). Pernyataan ini sebagai langkah untuk menghindari timbulnya pemahaman, bahwa yang di maksud wudhu disini adalah berdasarkan makna secara bahasa (yaitu sekedar membersihkan anggota badan).
Didahulukannya membasuh anggota wudhu adalah sebagai bentuk penghormatan. Dengan demikian dapat diperoleh dua bentuk thaharah (bersuci) sekaligus, thaharah sugra (bersuci kecil), dan thaharah kubra (bersuci besar). Pandangan seperti ini menjadi kecendrungan Ad-Dadudi pensyarah Al-Mukhtashar dari mazhab Syafi’i, dimana Ia mengatakan : “Lebih dahulu membasuh anggota wudhu sesuai dengan urutannya, tetapi dengan niat mandi junub”.
Kemudia Ibnu Baththal menukil adanya kesepakatan para ulama yang mengatakan : “Apabila seseorang telah mandin wajib maka ia tidak wajib berwudhu”. Tetapi klaim adanya ijma’ mengenai perkara ini tidak dapat di terima, karena sejumlah ulama di antaranya ; Abu Tsaur, Daud dan lainnya berpendapat bahwa mandi tidak bisa menggantikan wudhu bagi orang yang berhadast.
Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Adapun mendahulukan mencuci anggota wudhu ketika mandi itu tidaklah wajib. Cukup dengan seseorang mengguyur badan ke seluruh badan tanpa didahului dengan berwudhu, maka itu sudah disebut mandi (al ghuslu).”
فَيُخَلِّلُ بِهَا (setelah itu menggosokkannya), yakni menggosokkan jari-jari tangannya yang sudah dimasukkan kedalam air. Dalam riwayat Muslim disebutkan ; “Kemudian Beliau mengambil air, setelah itu memasukkan jari-jari tangannya ke akar-akar rambut.” Dalam riwayat Tirmidzi dan Nasa’i dari Ibnu Uyainah dikatakan ; “kemudian beliau memercikkan air ke rambutnya”.
أُصُولَ شَعَرِهِ (di sela-sela rambutnya), maksudnya rambut kepala Beliau. Hal ini didukung oleh riwayat Hammad bin Salamah dari Hisyam sebagaimana dinukil oleh Baihaqi dengan lafazd ; “Beliau menyela-nyela kepalanya yang sebelah kanan dengan jari tersebut sampai ke akar rambut, kemudian Beliau melakukan hal yang sama pada kepala sebelah kiri”.
Al Qadhi Iyadh mengatakan ; “sebagian ulama menjadikan lafazd ini sebagai hujjah (alasan) untuk mengharuskan mencuci (menyela-nyela) bulu badan ketika mandi, baik berpedoman dengan keumuman lafazh Ushulu sya’r (akar-akar rambut)  ataupun dengan menganologikannya dengan rambut kepala.
Adapun faedah menyela-nyela rambut tersebut adalah untuk meratakan air ke rambut dan air. Kemudian para ulama sepakat bahwa menyela-nyela rambut saat mandi junub hukumnya tidak wajib, kecuali apabila pada rambut itu ada sesuatu yang menghalangin sampainya air ke akar-akarnya, wallahu ‘alam.
ثَلاَثَ غُرَفٍ (tiga kali cidukan), lafazd غُرَفٍ adalah bentuk jamakdari kata ghurfatan, dan ukuran satu ghurfatan (cidukan) itu sendiri adalah sama dengan banyaknya air yang dapat di tampung oleh telapak tangan manusia.
Lafazh ini menerangkan disukainya menyiram air ke badan ketika mandi sebanyak tiga-tiga kali. Imam Nawawi mengatakan : “Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat masalah ini kecuali pendapat yang dikemukan oleh Al-Mawardi, dimana beliau berkata ; tidak dianjurkan mengulang-ulang (siraman) ketika mandi”.
Aku (Ibnu Hajar) katakan : “Pendapat ini dikemukakan pula oleh Syaikh Abu Ali As-Sanji dalam kitab Syahrul Furu’ serta Imam Qurthubi. Adapun lafazh tiga kali dalam riwayat ini mereka memahaminya, bahwa setiap cidukan digosokkan pada salah satu bagian kepala.
ثُمَّ يُفِيضُ (setelah itu Beliau meratakannya), maksudnya mengalirkan air kr seluruh tubuh. Lafazh ini dijadikan dalil oleh orang yang tidak mewajibkan menggosokkan badan saat mandi, dan konteks kesimpulan ini dengan hadist tersebut cukup jelas. Namun Al-Maziri mengatakan ; “Lafazh ini tidak dapat dijadikan hujjah untuk menyatakan tidak  wajibnya menggosok badan saat mandi, karna lafazh Afazhu artinya Ghasala (mencuci). Sementara mencuci itu sendiri menjadi objek perselisihan”. Aku katakan : “Kelemahan perkataan ini cukup jelas”. Wallahu ‘alam.
Al-Qadhi Iyadh berkata : “Tidak ditemukan dalam riwayat-riwayat yang berkenaan dengan wudhu ketika hendak mandi junub lafazh yang menyebutkan pengulangan dalam mencuci anggota wudhu”. Aku (Ibnu Hajar) katakan : “Ada riwayat yang shahih yang menyebutkan riwayat tersebut, yakni hadist yang di nukil oleh Imam Nasa’i dan Baihaqi dari riwayat Abu Salamah dari ‘Aisyah bahwa ia menggambarkan cara Nabi S.A.W. mandi junub, dimana disebutkan dalam hadist tersebut ; ‘Kemudian ia berkumur-kumur tiga kali, memasukkan air ke hidung tiga kali, mencuci muka tiga kali, tangan tiga kali dan kemudian menyiram tangannya tiga kali.’”
عَلَى جِلْدِهِ كُلِّهِ (keseluruh tubuhnya) penegasan ini memberi makna, bahwa Nabi S.A.W. meratakan (air) keseluruh tubuhnya ketika madi setelah melakukan hal-hal di atas. Ini menguatkan kemungkinan bahwa wudhu merupakan sunnah yang tersendiri sebelum mandi. Oleh karena itu orang yang mandi (junub)  harus berniat untuk berwudhu jika ia berhadast, jika ia tidak berhadast maka ia berniat sunnah mandi.
Hadist ini juga dijadikan dalil disunnahkannya menyempurnakan wudhu sebelum mandi, dan mencuci kaki tidak diakhirkan sampai selesai mandi. Kesimpulan seperti ini dapat ditarik dari makna lahiriah perkataan ‘Aisyah r.a. (sebagaimana beliau berwudhu untuk shalat). Lafazh inilah yang diriwayatkan secara akurat dari ‘Aisyah melalui jalur periwayatan ini. Akan tetapi telah diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Muawiyah dari Hisyam, ia berkata dibagian akhir ; “kemudian ia mengalirkan air keseluruh tubuh, kemudian mencuci kedua kakinya.”
Adapun lafazh yang menjadi tambahan tersebut diriwayatkan oleh Abu Muawiyah saja tanpa ada murid-murid Hisyam lain yang turut menukilnya. Oleh sebab itu Imam Baihaqi mengatakan ; “Tambahan ini Gharib (ganjil) namun shahih”. Aku katakan : “Tetapi riwayat Abu Muawiyah dari Hisyam menjadi bahan perbincangan.” Namun diakui bahwa hadist tersebut memiliki penguat yang dinukil dari riwayat Abu Salamah dari ‘Aisyah sebagaimana dikutip oleh Abu Daud At-Thayalisi, dimana ia menyebutkan hadist mandi yang terdapat dalam riwayat Nasa’i, lalu Beliau menambahkan ; “Tatkala beliau telah selesai mandi, Beliau mencuci kedua kakinya.” Dengan demikian bisa jadi yang dimaksudkan riwayat-riwayat ‘Aisyah  dengan perkataannya : “wudhu sebagaimana wudhu untuk shalat” adalah membasuh sebagian besar anggota wudhu, yakni selain dua kaki, atau hadist tersebut dapat pula dipahami menurut makna lahiriah.
Hadist riwayat Abu Muawiyah ini juga dapat dijadikan dalil bolehnya memisah-misahkan wudhu. Ada kemungkinan yang dimaksud dalam riwayat Abu Muawiyah ; “Kemudian mencuci kedua kakinya” adalah beliau mengulangi mencuci keduanya untuk menyempurnakan mandi setelah sebelumnya Beliau mencuci kedua kaki tersebut ketika wudhu. Sehingga perkataan ini sesuian dengan lafazh hadist عَلَى جِلْدِهِ كُلِّهِ ثُمَّ يُفِيضُ الْمَاءَ (Kemudian Beliau menyiramkan air keseluruh tubuhnya).

Dari uraian hadits di atas, penulis beragumen bahwa tata cara mandi yang disunnahkan sebagai berikut :
Mencuci tangan terlebih dahulu sebanyak tiga kali sebelum tangan tersebut dimasukkan dalam bejana atau sebelum mandi.
Membersihkan kemaluan dan kotoran yang ada dengan tangan kiri.
Mencuci tangan setelah membersihkan kemaluan dengan menggosokkan ke tanah atau dengan menggunakan sabun.
Berwudhu dengan wudhu yang sempurna seperti ketika hendak shalat.
Mengguyur air pada kepala sebanyak tiga kali hingga sampai ke pangkal rambut.
Memulai mencuci kepala bagian kanan, lalu kepala bagian kiri.
Menyela-nyela rambut.
Mengguyur air pada seluruh badan dimulai dari sisi yang kanan setelah itu yang kiri.

No comments:

Post a Comment