Wednesday, January 25, 2017

7 Golongan Manusia Yang Akan di Naungi Allah di Hari Kiamat

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ: الْإِمَامُ الْعَادِلُ وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ رَبِّهِ وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ وَرَجُلٌ طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ أَخْفَى حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَا
“Ada tujuh golongan manusia yang akan mendapat naungan Allah pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya:
Pemimpin yang adil.
Pemuda yang tumbuh di atas kebiasaan ‘ibadah kepada Rabbnya.
Lelaki yang hatinya terpaut dengan masjid.
Dua orang yang saling mencintai karena Allah, sehingga mereka tidak bertemu dan tidak juga berpisah kecuali karena Allah.
Lelaki yang diajak (berzina) oleh seorang wanita yang mempunyai kedudukan lagi cantik lalu dia berkata, ‘Aku takut kepada Allah’.
Orang yang bersedekah dengan sembunyi-sembunyi, hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya.
Orang yang berdzikir kepada Allah dalam keadaan sendiri hingga kedua matanya basah karena menangis.” (HR. Al-Bukhari no. 620 dan Muslim no. 1712)
Penjelasan:
Ketujuh orang yang tersebut dalam hadits di atas, walaupun lahiriah amalan mereka berbeda-beda bentuknya, akan tetapi semua amalan mereka itu mempunyai satu sifat yang sama yang membuat mereka semua mendapat naungan Allah Ta’ala. Sifat itu adalah mereka sanggup menyelisihi dan melawan hawa nafsu mereka guna mengharapkan keridhaan Allah dan ketaatan kepada-Nya.
1. Pemimpin yang adil.
Dia adalah manusia yang paling dekat kedudukannya dengan Allah Ta’ala pada hari kiamat. Dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash radhiallahu anhuma dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ الْمُقْسِطِينَ عِنْدَ اللَّهِ عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ عَنْ يَمِينِ الرَّحْمَنِ عَزَّ وَجَلَّ وَكِلْتَا يَدَيْهِ يَمِينٌ الَّذِينَ يَعْدِلُونَ فِي حُكْمِهِمْ وَأَهْلِيهِمْ وَمَا وَلُوا
“Orang-orang yang berlaku adil berada di sisi Allah di atas mimbar yang terbuat dari cahaya, di sebelah kanan Ar-Rahman Azza wa Jalla -sedangkan kedua tangan Allah adalah kanan semua-. Yaitu orang-orang yang berlaku adil dalam hukum, adil dalam keluarga dan adil dalam melaksanakan tugas yang dibebankan kepada mereka.” (HR. Muslim no. 3406)
2. Pemuda yang tumbuh di atas kebiasaan ‘ibadah kepada Rabbnya.
Hal itu karena dorongan dan ajakan kepada syahwat di masa muda mencapai pada puncaknya, karenanya kebanyakan awal penyimpangan itu terjadi di masa muda. Tapi tatkala seorang pemuda sanggup untuk meninggalkan semua syahwat yang Allah Ta’ala haramkan karena mengharap ridha Allah, maka dia sangat pantas mendapatkan keutamaan yang tersebut dalam hadits di atas, yaitu dinaungi oleh Allah di padang mahsyar.
3. Lelaki yang hatinya terpaut dengan masjid.
Sungguh Allah Ta’ala telah memuji semua orang yang memakmurkan masjid secara umum di dalam firman-Nya:
فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ (36)
{رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ (37) لِيَجْزِيَهُمُ اللَّهُ أَحْسَنَ مَا عَمِلُوا وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ} [النور:36 ,37، 38]
“Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang. Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (Meraka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberikan balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (QS. An-Nur: 36-38)
Terkaitnya hati dengan masjid hanya akan didapatkan oleh siapa saja yang menuntun jiwanya menuju ketaatan kepada Allah. Hal itu karena jiwa pada dasarnya cenderung memerintahkan sesuatu yang jelek. Sehingga jika dia meninggalkan semua ajakan dan seruan jiwa yang jelek itu dan lebih mendahulukan kecintaan kepada Allah, maka pantaslah dia mendapatkan pahala yang sangat besar.
4. Dua orang yang saling mencintai karena Allah, sehingga mereka tidak bertemu dan tidak juga berpisah kecuali karena Allah.
Kedua orang ini telah berjihad dalam melawan hawa nafsu mereka. Hal itu karena hawa nafsu itu menyeru untuk saling mencintai karena selain Allah karena adanya tujuan-tujuan duniawiah. Makna ‘mereka tidak bertemu dan tidak juga berpisah kecuali karena Allah’ adalah keduanya bersatu dan bermuamalah karena keduanya mencintai Allah. Karenanya kapan salah seorang di antara mereka berubah dari sifat ini (mencintai Allah), maka temannya itu akan meninggalkannya dan menjauh darinya karena dia telah meninggalkan sifat yang menjadi sebab awalnya mereka saling menyayangi. Sehingga jadilah ada dan tidak adanya cinta dan sayang di antara keduanya berputar dan ditentukan oleh ketaatan kepada Allah dan berpegang teguh kepada sunnah Rasul-Nya shallallahu alaihi wasallam.
5. Lelaki yang diajak (berzina) oleh seorang wanita yang mempunyai kedudukan lagi cantik lalu dia berkata, ‘Aku takut kepada Allah’.
Yakni: Dia diminta oleh wanita yang mengumpulkan status social yang tinggi, harta yang melimpah, dan kecantikan yang luar biasa untuk berzina dengannya. Akan tetapi dia menolak permintaan dan ajakan tersebut karena takut kepada Allah. Maka ini tanda yang sangat nyata menunjukkan dia lebih mendahulukan kecintaan kepada Allah daripada kecintaan kepada hawa nafsu. Dan orang yang sanggup melakukan ini akan termasuk ke dalam firman Allah Ta’ala:
{وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى (40) فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى } [النازعات: 40، 41]
“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya.” (QS. An-Naziat: 40)
Dan pemimpin setiap lelaki dalam masalah ini adalah Nabi Yusuf alaihissalam.
6. Orang yang bersedekah dengan sembunyi-sembunyi, hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya.
Yakni dia berusaha semaksimal mungkin agar sedekah dan dermanya tidak diketahui oleh siapapun kecuali Allah, sampai-sampai diibaratkan dengan kalimat ‘hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya’.
Karenanya disunnahkan dalam setiap zakat, infak, dan sedekah agar orang yang mempunyai harta menyerahkannya secara langsung kepada yang berhak menerimanya dan tidak melalui wakil dan perantara. Karena hal itu akan lebih menyembunyikan sedekahnya. Juga disunnahkan dia memberikannya kepada kerabatnya sendiri sebelum kepada orang lain, agar sedekahnya juga bisa dia sembunyikan.
7. Orang yang berdzikir kepada Allah dalam keadaan sendiri hingga kedua matanya basah karena menangis.
Ini adalah amalan yang sangat berat dan tidak akan dirasakan kecuali oleh orang yang mempunyai kekuatan iman dan orang yang takut kepada Allah ketika dia sendiri maupun ketika dia bersama orang lain. Dan tangisan yang lahir dari kedua sifat ini merupakan tangisan karena takut kepada Allah Ta’ala.
Kemudian, penyebutan 7 golongan dalam hadits ini tidaklah menunjukkan pembatasan. Karena telah shahih dalam hadits lain adanya golongan lain yang Allah lindungi pada hari kiamat selain dari 7 golongan di atas. Di antaranya adalah orang yang memberikan kelonggaran dalam penagihan utang. Dari Jabir radhiallahu anhu: Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا أَوْ وَضَعَ عَنْهُ أَظَلَّهُ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ
“Barangsiapa yang memberikan kelonggaran kepada orang yang berutang atau menggugurkan utangnya, maka Allah akan menaunginya di bawah naungan-Nya.” (HR. Muslim no. 5328).

Thursday, January 19, 2017

Biografi Imam At Tirmidzi

Bernama lengkap Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin al-Dhahhak al-Sulami al-Dharir al-Bughi al-Tirmidzi[1], sang ulama besar yang lebih populer dengan sebutan Abu Isa ini dilahirkan pada 209 H[2] di desa Tirmidz, sebuah kota kuno yang terletak di pinggiran sungai Jihon (Amoderia), di belahan utara Iran.

Sebagian ulama sangat membenci sebutan Abu Isa. Mereka menyandarkan argumennya dari hadis Abu Syaibah yang menerangkan bahwa seorang pria tidak diperkenankan memakai nama Abu Isa, karena Isa tidak mempunyai ayah. Sabda Nabi Muhammad: “Sesungguhnya Isa tidak mempunyai ayah”. Al-Qari menjelaskan lebih detail, bahwa yang dilarang adalah jika nama Abu Isa digunakan sebagai nama asli, bukan kunyah atau julukan. 

Dalam hal ini, penyebutan Abu Isa adalah hanya untuk membedakan al-Tirmizi dengan ulama yang lain. Sebab, ada beberapa ulama besar yang populer dengan nama al-Tirmidzi, yaitu: (1) Abu Isa al-Tirmidzi, pengarang kitab al-Jami’ al-Shahih (tokoh yang kitabnya dibahas dalam tulisan ini), (2) Abu al-Hasan Ahmad bin al-Hasan, yang populer dengan sebutan al-Tirmidzi al-Kabir. (3) Al-Hakim al-Tirmidzi Abu Abdullah Muhammad `Ali bin al-Hasan bin Basyar. Ia seorang zuhud, hafiz, mu’azin, pengarang kitab dan populer dengan sebutan al-Hakim al-Tirmidzi.

Imam al-Tirmidzi merupakan figur yang cerdas, tangkas, cepat hafal, zuhud, juga wara′. Sebagai bukti kerendahan pribadi, beliau senantiasa mencucurkan air mata, sehingga kedua bola matanya memutih, dan kemudian menimbulkan dampak kebutaan pada masa tuanya. Dengan adanya musibah kebutaan inilah beliau juga disebut al-Dharir (yang buta).
Riwayat Hidup Singkat Imam At-tirmidzi

Tentang sejak kapan terjadinya musibah kebutaan kedua mata Imam al-Tirmidzi, banyak terjadi silang pendapat di dalamnya. Ada sebagian yang menyatakan beliau buta sejak lahir, sementara ulama yang lain menyatakan ketika usianya mulai senja, setelah perjalanan panjang perlawatannya menimba ilmu, juga menulis hadis. Tapi mayoritas ulama sepakat, beliau tidak buta sejak lahir, melainkan musibah itu datang belakangan. Yusuf bin Ahmad al-Baghdadi menuturkan, "Abu Isa mengalami kebutaan pada masa menjelang akhir usianya."
Sejarah Perlawatan Menuntut Ilmu Imam At-Tirmidzi

Sebenarnya, tidak ada riwayat yang pasti menunjukkan kapan Imam al-Tirmidzi memulai pengembaraan mencari ilmunya. Akan tetapi, memang beberapa catatan biografi mengenainya memberi informasi bahwa ia memulai perjalanannya sejak kira-kira usia duapuluh tahun.[3]

Sejak usia dini, al-Tirmidzi sudah gemar mempelajari dan mengkaji berbagai disiplin ilmu keislaman, baik fiqh maupun hadis. Masa kecilnya ia habisnya belajar (sima’) di desanya. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa pada 234 H ia bertolak ke Mekkah,[4] dalam rangka mempelajari dan mengkaji ilmu-ilmu secara lebih mendalam dan luas. 

Beliau juga mengembara ke berbagai wilayah Islam. Al-Tirmidzi tercatat pernah mengembara ke Khurasan, Bashrah, Kuffah, Iraq, dan Madinah. Akan tetapi, ia dikabarkan tidak pernah menginjakkan kakinya guna menuntut ilmu ke Syam dan Mesir. 

Ia juga dikabarkan tidak menuntut ilmu ke Baghdad, karena, jika memang benar ia pernah mengunungi Baghdad, niscaya ia juga akan berguru pada Imam Ahmad bin Hanbal. Tetapi, pada kenyataannya ia tidak pernah menerima riwayat apapun dari Imam Ahmad. 

Pendapat ini disanggah oleh Al-Hafizh Ibn Nuqtah, bahwa sebenarnya Abu Isa memang pernah singgah ke Baghdad, akan tetapi kunjungannya itu ia lakukan setelah wafatnya Imam Ahmad bin Hanbal, oleh karenanya mereka berdua tidak bertemu.

Diakui, beliau adalah seorang ulama’ yang multitalented. Hal ini terbukti, dikarenakan kepiawaiannya dalam berbagai bidang, yakni:

1. Ilmu Hadis; Ia dianugerahi daya ingat yang menakjubkan dalam menghapal ratusan ribu hadis lengkap dengan sanadnya. Tak hanya itu, ia pun mampu membedakan yang shahih dari yang “sakit”, ia ahli dalam menetapkan kualitas hadis-hadis tersebut. Kitabnya (Sunan Al-Tirmidzi), merupakan bukti terbesar dari itu semua.

2. Ilmu ‘Ilal al-Hadis; Ia termasuk seorang yang pelopor dalam mengetahui keadaan hadis serta illatnya. Ia mampu membedakan hadis-hadis yang “sakit” dari yang shahih, yang pastinya tak terlepas dari luasnya pengetahuan yang ia miliki hal ihwal perawi hadis: wafatnya, nama kunyah serta nasabnya, maupun ketsiqahan dan kedha’ifannya.

3. Ilmu Jarh wa Ta’dil; 

4. Ilmu Fiqh; pengetahuannya mengenai mazhab-mazhab ahli fiqh beserta perbandingannya. Ia memahami fiqhnya Abu Hanifah, begitu pula fiqh Malik, Al-Tsauri serta Al-Syafi’i. Ia juga menguasai fiqh para ahli hadis, seperti Ahmad ibn Hanbal, Ishak ibn Rahawaih, dan lain-lain.[5] Kajian-kajiannya mengenai persoalan fiqh mencerminkan dirinya sebagai ulama yang sangat berpengalaman dan mengerti betul duduk permasalahan yang sebenarnya.
Nama Guru dan Murid Imam At-Tirmidzi

Guru-gurunya amat banyak jumlahnya, diantaranya ialah: Muhammad ibn Basyar Bundar (167-252 H), Muhammad ibn Al-Mutsanna Abu Musa (167-252 H), Ziyad ibn Yahya Al-Hassani (w. 254 H), Abbas ibn Abdul ‘Azhim Al-‘Anbari (w. 246 H), Abu Sa’id Al-Asyaj Abdullah ibn Sa’id Al-Kindi (w. 257 H.), Abu Hafsh ‘Amr ibn ‘Ali Al-Fallas (160-249 H), Ya’qub ibn Ibrahim Al-Dauraqi (166-252), Muhammad ibn Ma’mar Al-Qaisi Al-Bahrani (w. 256 H), dan Nashr ibn ‘Ali Al-Jahdhami (w. 250 H).[6]

Mereka yang disebut di atas juga merupakan guru dari para penulis kutub al-sittah. Sedang gurunya yang lain ialah: Abdullah ibn Muawiyah Al-Jumahi (w. 243 H), Ali ibn Hujr Al-Marwazi (w. 244 H), Suwaid ibn Nasr ibn Suwaid Al-Marwazi (w. 240 H), Qutaibah ibn Sa’id Al-Tsaqafi Abu Raja’ (150-240 H), Abu Mush’ab Ahmad ibn Abi Bakr Al-Zuhri Al-Madini (150-242 H), Muhammad bn Abdul Malik ibn Abi Syawarib (w. 244 H), Ibrahim ibn Abdullah ibn Hatim Al-Harawi (178-244 H), Ismail ibn Musa al-Fazari Al-Suddi (w. 245 H),[7] Ishaq ibn Rahawaih, Muhammad ibn Amr al-Sawwaq, al-Balki, Muhammad ibn Gailan, Yusuf ibn Isa, dan lain-lain. Selain guru-guru di atas, Abu Isa juga belajar kepada Tirmidzi juga belajar kepada Imam al-Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Abu Dawud.[8]

Karena kehebatan dalam disiplin ilmu hadis, tak pelak lagi, banyak orang yang ingin menyerap dan mengkaji kedalaman pengetahuannya dengan menjadi muridnya. Mereka yang tercatat mengambil hadits dari Imam al-Tirmidzi di antaranya: Makhul bin al Afdhal, Muhammad bin Mahmud Anbar, Hammad bin Syakir, Abd bin muhammad al-Nafsiyyun, al-Haisam bin Kulaib al-Syasyi, dan Ahmad bin Yusuf al-Nasafi, Abi al-Abbas al-Mahbubi Muhammad bin Ahmad bin Mahbub al-Marwazi, dan lain-lain.

Daftar Karya Imam At-Tirmidzi

1. Kitab al-Jami’ al-Shahih, yang dikenal juga dengan al-Jami' al-Tirmidzi, atau lebih populer lagi dengan Sunan al-Tirmidzi.
2. Kitab ‘Ilal, kitab ini terdapat pada akhir kitab al-Jami’ al-Tirmidzi.
3. Kitab Tarikh.
4. Kitab al-Sama`il al-Nabawiyyah.
5. Kitab al-Zuhud.
6. Kitab al-Asma’ wa al-Kuna.
7. Kitab al-‘Ilal al-Kabir.
8. Kitab al-Asma’ al-Sahabah.
9. Kitab al-Asma’ al-Mauqufat.

Di antara karya al-Tirmidzi yang paling monumental serta tersebar luas adalah kitab al-Jami` al-Sahih atau Sunan al-Tirmidzi, sementara kitab-kitab yang lain, seperti: al-Zuhud, dan al-Asma’ wa al-Kuna kurang begitu dikenal di kalangan masyarakat umum.

Begitu populernya kitab al-Jami’ al-Shahih, maka tak sedikit kitab syarah yang bermunculan untuk mensyarah kitab tersebut. Di antaranya:

1. Aridat al-Ahwadzi, ditulis oleh Abu Bakar ibn al-`Arabi al-Maliki.

2. Al-Munqihu al-Syazi fi Syarh al-Tirmidzi oleh Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad yang terkenal dengan Ibn Sayyid al-Nas al-Syafi’.

3. Syarh Ibn Sayyid al-Nas disempurnakan oleh al-Hafiz Zainuddin al-‘Iraqi.

4. Syarh al-Tirmidzi oleh al-Hafiz Abu al-Faraj Zainuddin `Abd al-Rahman ibn Syihabuddin Ahmad ibn Hasan ibn Rajab al-Bagdadi al-Hanbali.

5. Al-Lubab oleh al-Hafiz Ibn Hajar al-‘Asqalani.
6. Al-‘Urf al-Syazi’ ala Jami’ al-Tirmidzi oleh al-Hafiz Umar ibn Ruslan al-Bulqini.

7. Qat al-Mugtadi ‘ala Jami’ al-Tirmidzi oleh al-Hafiz al-Suyuti.

8. Ta’liq al-Tirmidzi dan Syarh al-Ahwazi oleh Muhammad Tihir.

9. Syarh Abu Tayyib al-Sindi.

10. Syarh Sirajuddin Ahmad al-Sarkandi.

11. Syarh Abu al-Hasan ibn `Abd al-Hadis al-Sindi.

12. Bahr al-Mazi Mukhtasar Sahih al-Tirmizi oleh Muhammad Idris’ Abd al-Ra'uf al-Marbawi al-Azhari.

13. Tuhfat al-Ahwadzi oleh Abu ‘Ali Muhammad Abd al-Rahman ibn ‘Abd al-Rahim al-Mubarakfuri.

14. Syarh Sunan al-Tirmidzi dengan al-Jami’ al-Shahih oleh Ahmad Muhammad Syakir.

15. Al-‘Urf al-Syazi ala Jami’ al-Tirmidzi oleh Muhammad Anwar Syah al-Kasymiri.[9]

Hari Wafat Imam At-Tirmidzi

Ada perbedaan pendapat di antara para ulama mengenai kapan tepatnya Imam al-Tirmidzi meninggal dunia. Al-Sam'ani dalam kitabnya al-Ansab menuturkan bahwa beliau wafat di desa Bugh pada tahun 275 H. Pendapat ini diikuti oleh Ibn Khallikan. Sementara yang lain mengatakan beliau wafat pada tahun 277 H. 

Sedangkan pendapat yang benar adalah sebagaimana dinukil oleh al-hafidh al-Mizzi dalam al-Tahdzib dari al-Hafidh Abu al-Abbas Ja'far bin Muhammad bin al-Mu'tazal-Mustaghfiri yang mengatakan “Abu Isa al-Tirmidzi wafat di daerah Tirmidz pada malam Senin 13 Rajab 279 H. Beliau wafat pada usia 70 tahun dan dimakamkan di Uzbekistan.“[10] 

Penilaian Ulama’ Terhadap Imam AT-Tirmidzi

Para ulama besar telah memuji dan menyanjungnya, dan mengakui akan kemuliaan dan keilmuannya. Diantaranya ialah Al Hakim, yang mengatakan "Saya pernah mendengar Umar bin Alak mengomentari pribadi Al Tirmidzi sebagai berikut; kematian Imam Bukhari tidak meninggalkan muridnya yang lebih pandai di Khurasan selain daripada Abu 'Isa Al-Tirmidzi dalam hal luas ilmunya dan hafalannya."

Abu Ya’la al-Khalili dalam kitabnya ‘Ulumul Hadis menerangkan; Muhammad bin ‘Isa al-Tirmidzi adalah seorang penghafal dan ahli hadits yang baik yang telah diakui oleh para ulama. Ia memiliki kitab Sunan dan kitab Al-Jarh wat-Ta’dil. Hadis-hadisnya diriwayatkan oleh Abu Mahbub dan banyak ulama lain. Ia terkenal sebagai seorang yang dapat dipercaya, seorang ulama dan imam yang menjadi panutan dan yang berilmu luas. Kitabnya Al-Jami’ Al-Shahih sebagai bukti atas keagungan derajatnya, keluasan hafalannya, banyak bacaannya dan pengetahuannya tentang hadits yang sangat mendalam.

Al-Dzahabi dalam Tadzkirah Al-Huffazh, Al-Shadafi dalam Nakt Al-Himyat dan Al-Mizzi dalam Al-Tahdzib telah mengutip pendapat Al-Hafiz Abu Hatim Muhammad ibn Hibban, kritikus hadith, yang menggolongkan Al-Tirmidzi ke dalam kelompok “tsiqah” atau orang-orang yang dapat dipercayai dan kukuh hafalannya, dan berkata: "Al-Tirmidzi adalah salah seorang ulama yang mengumpulkan hadis, menyusun kitab, menghafal hadis dan bermuzakarah (berdiskusi) dengan para ulama.”[11]

Salah satu bukti kekuatan dan cepat hafalannya ialah kisah berikut yang dikemukakan oleh al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Tahdzib al-Tahdzib-nya, dari Ahmad bin ‘Abdullah bin Abu Dawud, yang berkata: "Saya mendengar Abu ‘Isa al-Tirmidzi berkata: Pada suatu waktu dalam perjalanan menuju Makkah, dan ketika itu saya telah menulis dua jilid berisi hadis-hadis yang berasal dari seorang guru. 
Guru tersebut berpapasan dengan kami. Lalu saya bertanya-tanya mengenai dia, mereka menjawab bahwa dialah orang yang kumaksudkan itu. Kemudian saya menemuinya. Saya mengira bahwa "dua jilid kitab" itu ada padaku. Ternyata yang kubawa bukanlah dua jilid tersebut, melainkan dua jilid lain yang mirip dengannya. 

Ketika saya telah bertemu dengan dia, saya memohon kepadanya untuk mendengar hadits, dan ia mengabulkan permohonan itu. Kemudian ia membacakan hadits yang dihafalnya. Di sela-sela pembacaan itu ia mencuri pandang dan melihat bahwa kertas yang kupegang masih putih bersih tanpa ada tulisan sesuatu apa pun. Demi melihat kenyataan ini, ia berkata: ‘Tidakkah engkau malu kepadaku?’ lalu aku bercerita dan menjelaskan kepadanya bahwa apa yang ia bacakan itu telah kuhafal semuanya. ‘Coba bacakan!’ suruhnya. Lalu aku pun membacakan seluruhnya secara beruntun. Ia bertanya lagi: ‘Apakah telah engkau hafalkan sebelum datang kepadaku?’ ‘Tidak,’ jawabku. 

Kemudian saya meminta lagi agar dia meriwayatkan hadits yang lain. Ia pun kemudian membacakan empat puluh buah hadits yang tergolong hadits-hadits yang sulit atau garib, lalu berkata: ‘Coba ulangi apa yang kubacakan tadi,’ Lalu aku membacakannya dari pertama sampai selesai; dan ia berkomentar: ‘Aku belum pernah melihat orang seperti engkau."[12]

Sementara itu, pujian lain disampaikan oleh Imam al-Hakim Abu Ahmad: “Sepeninggal Imam Bukhari, tiada ulama’ yang menyamai ilmu, kewara’an, dan kezuhudannya di Khurasan kecuali Abu Isa Al-Tirmidzi.”[13]

Semua ini membuktikan bahwa sosok Imam al-Tirmidzi memang pantas mendapat sanjungan. Namun demikian, ternyata ada sementara ulama yang menganggap bahwa Imam al-Tirmidzi merupakan sosok yang tidak diketahui asal-muasal dan jatidirinya (majhul al-hal), sehingga –secara otomatis– periwayatannya ditolak begitu saja. Pandangan seperti inilah yang antara lain dilontarkan Imam Ibn Hazm al-Dhahiri.

Statemen Ibn Hazm al-Dhahiri yang cukup kontroversial dan bertolak belakang dengan pandangan mayoritas ulama ini telah membuat geger, terutama di lingkungan ulama’ hadis. Bahkan Ibn Hazm banyak mendapat kecaman, antara lain datang dari Imam Ibn Hajar al-Asqalani dalam kitab Tahdzib al-Tahdzib. Dalam kitab itu sikap Ibn Hazm al-Dhahiri dianggap sebagai satu wujud kesombongan terhadap kedudukan para ulama yang telah masyur.

Imam al-Dzahabi dalam kitabnya Mizan al-I'tidal fi Naqd al-Rijal, mengatakan, “Al-Tirmidzi adalah al-hafizh (ahli hadis) yang kondang, penulis kitab al-Jami' terpercaya dan disepakati periwayatannya.”Sedangkan pandangan Ibn Hazm al-Dhahiri tentang kemajhulan Tirmidzi disebabkan ia tidak mengenal dan mengetahui pribadi Tirmidzi beserta hasil-hasil karyanya, seperti al-Jami' dan al- Ilal.[14] Sejarah juga membuktikan, pada saat itu kitab Al-Jami’ Al-Shahih milik Imam Tirmidzi belum sempat masuk ke wilayah Andalusia, Spanyol, negeri tempat Ibn Hazm bermukim.[15]

Ibn Katsir dalam karyanya al-Bidayah wa al-Nihayah menuturkan, “Pandangan Ibn Hazm tentang kemajhulan al-Tirmidzi tidak akan mengurangi keunggulannya. Sikap ini tidak akan merendahkan pribadi al-Tirmidzi di kalangan para ulama. Bahkan sebaliknya akan menurunkan derajat Ibn Hazm sendiri dalam pandangan para ulama.”
Sumber Rujukan

[1] Abu Isa Muhammad bin Isa Al-Tirmidzi, Al-Jâmi’ Al-Shahîh (Beirut: Daar Al-Ihya’ Al-Turats Al-‘Arabi, tt) 

[2] Sedang menurut Al-Dzahabi, ia lahir tahun 210 H. Lihat dalam CD Mausu’ah al-Hadis al-Syarif. 

[3] CD-ROM Mausu’ah Al-Hadis Al-Syarif. 

[4] CD-ROM Mausu’ah Al-Hadis Al-Syarif. 

[5] CD-ROM Mausu’ah Al-Hadis Al-Syarif. 

[6] Abu Isa Al-Tirmidzi, Al-Jami’ Al-Shahih (Beirut: Daar Al-Ihya’ Al-Turats Al-‘Arabi, tt), hlm. 81. 

[7] Abu Isa Al-Tirmidzi, Al-Jami’ Al-Shahih, hlm. 82. 

[8] Syamsuddin Al-Dzahabi, Siyar al-A’lam al-Nubala (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1990), juz III hlm. 271. 

[9] www.attarefe.islamlight.net, diakses tanggal 8 Maret 2009. 

[10] Muhammad Ai Mustafa Ya’kub, “Imam Al-Tirmidzi”, dalam http://halaqah-online.com, diakses tanggal 8 Maret 2009. Lihat juga CD Mausu’ah Al-Hadis 

[11] http://www.al-ahkam.net. Cek ke Abu Isa Al-Tirmidzi, Al-Jami’ Al-Shahih,juz I, hlm. 85. 

[12] CD Mausu’ah Al-Hadis Al-Syarif 

[13] Dzulmani, Mengenal Kitab-Kitab Hadis (Yogyakarta: Insan Madani, 2008), hlm. 83. Cek ke Abu Isa Al-Tirmidzi, Al-Jami’ Al-Shahih, juz I hlm. 86-87. 

[14] Muhammad Al-Dzahabi, Mizan al-I'tidal fi Naqd al-Rijal (Beirut: Matba’ah ‘Isa al-Babi al-Halabi, 1963), juz III hlm. 278. 

[15] Suryadi, “Kitab Sunan Al-Tirmidzi” ... , hlm. 107.

Tuesday, January 17, 2017

Biografi Abu Daud

Setelah Imam Bukhari dan Imam Muslim, kini giliran Imam Abu Dawud yang juga merupakan tokoh kenamaan ahli hadits pada zamannya. Kealiman, kesalihan dan kemuliaannya semerbak mewangi hingga kini.

Abu Dawud nama lengkapnya ialah Sulaiman bin al-Asy’as bin Ishaq bin Basyir bin Syidad bin ‘Amr al-Azdi as-Sijistani, seorang imam ahli hadits yang sangat teliti, tokoh terkemuka para ahli hadits setelah dua imam hadits Bukhari dan Muslim serta pengarang kitab Sunan. Ia dilahirkan pada tahun 202 H/817 M di Sijistan.

Perkembangan Dan Perlawatannya
Sejak kecilnya Abu Dawud sudah mencintai ilmu dan para ulama, bergaul dengan mereka untuk dapat mereguk dan menimba ilmunya. Belum lagi mencapai usia dewasa, ia telah mempersiapkan dirinya untuk mengadakan perlawatan, mengelilingi berbagai negeri. Ia belajar hadits dari para ulama yang tidak sedikit jumlahnya, yang dijumpainya di Hijaz, Syam, Mesir, Irak, Jazirah, Sagar, Khurasan dan negeri-negeri lain. Perlawatannya ke berbagai negeri ini membantu dia untuk memperoleh pengetahuan luas tentang hadits, kemudian hadits-hadits yang diperolehnya itu disaring dan hasil penyaringannya dituangkan dalam kitab As-Sunan. Abu Dawud mengunjungi Baghdad berkali-kali. Di sana ia mengajarkan hadits dan fiqh kepada para penduduk dengan memakai kitab Sunan sebagai pegangannya. Kitab Sunan karyanya itu diperlihatkannya kepada tokoh ulama hadits, Ahmad bin Hanbal.
Dengan bangga Imam Ahmad memujinya sebagai kitab yang sangat indah dan baik. Kemudian Abu Dawud menetap di Basrah atas permintaan gubernur setempat yang menghendaki supaya Basrah menjadi “Ka’bah” bagi para ilmuwan dan peminat hadits.

Guru-Gurunya
Para ulama yang menjadi guru Imam Abu Dawud banyak jumlahnya. Di antaranya guru-guru yang paling terkemuka ialah Ahmad bin Hanbal, al-Qa’nabi, Abu ‘Amr ad-Darir, Muslim bin Ibrahim, Abdullah bin Raja’, Abu’l Walid at-Tayalisi dan lain-lain. Sebahagian gurunya ada pula yang menjadi guru Imam Bukhari dan Imam Muslim, seperti Ahmad bin Hanbal, Usman bin Abi Syaibah dan Qutaibah bin Sa’id.

Muridnya (Para Ulama Yang Mewarisi Haditsnya)
Ulama-ulama yang mewarisi haditsnya dan mengambil ilmunya, antara lain Abu ‘Isa at-Tirmidzi, Abu Abdur Rahman an-Nasa’i, putranya sendiri Abu Bakar bin Abu Dawud, Abu Awanah, Abu Sa’id al-A’rabi, Abu Ali al-Lu’lu’i, Abu Bakar bin Dassah, Abu Salim Muhammad bin Sa’id al-Jaldawi dan lain-lain.
Cukuplah sebagai bukti pentingnya Abu Dawud, bahawa salah seorang gurunya, Ahmad bin Hanbal pernah meriwayatkan dan menulis sebuah hadits yang diterima dari padanya. Hadits tersebut ialah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, dari Hammad bin Salamah dari Abu Ma’syar ad-Darami, dari ayahnya, sebagai berikut: “Rasulullah SAW. ditanya tentang ‘atirah, maka ia menilainya baik.”

Akhlak Serta Sifat-Sifatnya Yang Terpuji
Abu Dawud adalah salah seorang ulama yang mengamalkan ilmunya dan mencapai darjat tinggi dalam ibadah, kesucian diri, wara’ dan kesalehannya. Ia adalah seorang sosok manusia utama yang patut diteladani perilaku, ketenangan jiwa dan keperibadiannya. Sifat-sifat Abu Dawud ini telah diungkapkan oleh sebahagian ulama yang menyatakan:
“Abu Dawud menyerupai Ahmad bin Hanbal dalam perilakunya, ketenangan jiwa dan kebagusan pandangannya serta keperibadiannya. Ahmad dalam sifat-sifat ini menyerupai Waki’, Waki menyerupai Sufyan as-Sauri, Sufyan menyerupai Mansur, Mansur menyerupai Ibrahim an-Nakha’i, Ibrahim menyerupai ‘Alqamah dan ia menyerupai Ibn Mas’ud. Sedangkan Ibn Mas’ud sendiri menyerupai Nabi SAW dalam sifat-sifat tersebut.”
Sifat dan keperibadian yang mulia seperti ini menunjukkan atas kesempurnaan keberagamaan, tingkah laku dan akhlak.
Abu Dawud mempunyai pandangan dan falsafah sendiri dalam cara berpakaian. Salah satu lengan bajunya lebar namun yang satunya lebih kecil dan sempit. Seseorang yang melihatnya bertanya tentang kenyentrikan ini, ia menjawab:
“Lengan baju yang lebar ini digunakan untuk membawa kitab-kitab, sedang yang satunya lagi tidak diperlukan. Jadi, kalau dibuat lebar, hanyalah berlebih-lebihan.

Pujian Para Ulama Kepadanya
Abu Dawud adalah juga merupakan “bendera Islam” dan seorang hafiz yang sempurna, ahli fiqh dan berpengetahuan luas terhadap hadits dan ilat-ilatnya. Ia memperoleh penghargaan dan pujian dari para ulama, terutama dari gurunya sendiri, Ahmad bin Hanbal. Al-Hafiz Musa bin Harun berkata mengenai Abu Dawud:
“Abu Dawud diciptakan di dunia hanya untuk hadits, dan di akhirat untuk surga. Aku tidak melihat orang yang lebih utama melebihi dia.”
Sahal bin Abdullah At-Tistari, seorang yang alim mengunjungi Abu Dawud. Lalu dikatakan kepadanya: “Ini adalah Sahal, datang berkunjung kepada tuan.”
Abu Dawud pun menyambutnya dengan hormat dan mempersilahkan duduk. Kemudian Sahal berkata: “Wahai Abu Dawud, saya ada keperluan keadamu.” Ia bertanya: “Keperluan apa?” “Ya, akan saya utarakan nanti, asalkan engkau berjanji akan memenuhinya sedapat mungkin,” jawab Sahal. “Ya, aku penuhi maksudmu selama aku mampu,” tandan Abu Dawud. Lalu Sahal berkata: “Jujurkanlah lidahmu yang engkau pergunakan untuk meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW. sehingga aku dapat menciumnya.” Abu Dawud pun lalu menjulurkan lidahnya yang kemudian dicium oleh Sahal.
Ketika Abu Dawud menyusun kitab Sunan, Ibrahim al-Harbi, seorang ulama ahli hadits berkata: “Hadits telah dilunakkan bagi Abu Dawud, sebagaimana besi dilunakkan bagi Nabi Dawud.” Ungkapan ini adalah kata-kata simbolik dan perumpamaan yang menunjukkan atas keutamaan dan keunggulan seseorang di bidang penyusunan hadits. Ia telah mempermudah yang sulit, mendekatkan yang jauh dan memudahkan yang masih rumit dan pelik.
Abu Bakar al-Khallal, ahli hadits dan fiqh terkemuka yang bermadzhab Hanbali, menggambarkan Abu Dawud sebagai berikut; Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’as, imam terkemuka pada zamannya adalah seorang tokoh yang telah menggali beberapa bidang ilmu dan mengetahui tempat-tempatnya, dan tiada seorang pun pada masanya yang dapat mendahului atau menandinginya. Abu Bakar al-Asbihani dan Abu Bakar bin Sadaqah senantiasa menyinggung-nyingung Abu Dawud kerana ketinggian darjatnya, dan selalu menyebut-nyebutnya dengan pujian yang tidak pernah mereka berikan kepada siapa pun pada masanya.
Mazhab Fiqh Abu Dawud
Syaikh Abu Ishaq asy-Syairazi dalam asy-Syairazi dalam Tabaqatul-Fuqaha-nya menggolongkan Abu Dawud ke dalam kelompok murid-murid Imam Ahmad. Demikian juga Qadi Abu’l-Husain Muhammad bin al-Qadi Abu Ya’la (wafat 526 H) dalam Tabaqatul-Hanabilah-nya. Penilaian ini nampaknya disebabkan oleh Imam Ahmad merupakan gurunya yang istimewa. Menurut satu pendapat, Abu Dawud adalah bermadzhab Syafi’i.
Menurut pendapat yang lain, ia adalah seorang mujtahid sebagaimana dapat dilihat pada gaya susunan dan sistematika Sunan-nya. Terlebih lagi bahawa kemampuan berijtihad merupakan salah satu sifat khas para imam hadits pada masa-masa awal.

Memandang Tinggi Kedudukan Ilmu Dan Ulama
Sikap Abu Dawud yang memandang tinggi terhadap kedudukan ilmu dan ulama ini dapat dilihat pada kisah berikut sebagaimana dituturkan, dengan sanad lengkap, oleh Imam al-Khattabi, dari Abu Bakar bin Jabir, pembantu Abu Dawud. Ia berkata:
“Aku bersama Abu Dawud tinggi di Baghdad. Pada suatu waktu, ketika kami selesai menunaikan shalat Maghrib, tiba-tiba pintu rumah diketuk orang, lalu pintu aku buka dan seorang pelayan melaporkan bahawa Amir Abu Ahmad al-Muwaffaq mohon ijin untuk masuk. Kemudian aku melapor kepada Abu Dawud tentang tamu ini, dan ia pun mengijinkan. Sang Amir pun masuk, lalu duduk. Tak lama kemudian Abu Dawud menemuinya seraya berkata: “Gerangan apakah yang membawamu datang ke sini pada saat seperti ini?”
“Tiga kepentingan,” jawab Amir. “Kepentingan apa?” tanyanya.
Amir menjelaskan, “Hendaknya tuan berpindah ke Basrah dan menetap di sana, supaya para penuntut ilmu dari berbagai penjuru dunia datang belajar kepada tuan; dengan demikian Basrah akan makmur kembali. Ini mengingat bahawa Basrah telah hancur dan ditinggalkan orang akibat tragedy Zenji.”
Abu Dawud berkata: “Itu yang pertama, sebutkan yang kedua!”
“Hendaknya tuan berkenan mengajarkan kitab Sunan kepada putra-putraku,” kata Amir.
“Ya, ketiga?” Tanya Abu Dawud kembali.
Amir menerangkan: “Hendaknya tuan mengadakan majlis tersendiri untuk mengajarkan hadits kepada putra-putra khalifah, sebab mereka tidak mau duduk bersama-sama dengan orang umum.”
Abu Dawud menjawab: “Permintaan ketiga tidak dapat aku penuhi; sebab manusia itu baik pejabat terhormat maupun rakyat melarat, dalam bidang ilmu sama.”
Ibn Jabir menjelaskan: “Maka sejak itu putra-putra khalifah hadir dan duduk bersama di majlis taklim; hanya saja di antara mereka dengan orang umum di pasang tirai, dengan demikian mereka dapat belajar bersama-sama.”
Maka hendaknya para ulama tidak mendatangi para raja dan penguasa, tetapi merekalah yang harus datang kepada para ulama. Dan kesamaan darjat dalam ilmu dan pengetahuan ini, hendaklah dikembangkan apa yang telah dilakukan Abu Dawud tersebut.
Wafat
Setelah mengalami kehidupan penuh berkat yang diisi dengan aktivitas ilmia, menghimpun dan menyebarluaskan hadits, Abu Dawud meninggal dunia di Basrah yang dijadikannya sebagai tempat tinggal atas permintaan Amir sebagaimana telah diceritakan. Ia wafat pada tanggal 16 Syawwal 275 H/889M. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan ridha-Nya kepadanya.

Karya-Karyanya
Imam Abu Dawud banyak memiliki karya, antara lain:
  • Kitab AS-Sunnan (Sunan Abu Dawud).
  • Kitab Al-Marasil.
  • Kitab Al-Qadar.
  • An-Nasikh wal-Mansukh.
  • Fada’il al-A’mal.
  • Kitab Az-Zuhd.
  • Dala’il an-Nubuwah.
  • Ibtida’ al-Wahyu.
  • Ahbar al-Khawarij.
Di antara karya-karya tersebut yang paling bernilai tinggi dan masih tetap beredar adalah kitab Amerika Serikat-Sunnan, yang kemudian terkenal dengan nama Sunan Abi Dawud.

Metode Abu Dawud dalam Penyusunan Sunan-nya
Karya-karya di bidang hadits, kitab-kitab Jami’ Musnad dan sebagainya disamping berisi hadits-hadits hukum, juga memuat hadits-hadits yang berkenaan dengan amal-amal yang terpuji (fada’il a’mal) kisah-kisah, nasehat-nasehat (mawa’iz), adab dan tafsir. Cara demikian tetap berlangsung sampai datang Abu Dawud. Maka Abu Dawud menyusun kitabnya, khusus hanya memuat hadits-hadits hukum dan sunnah-sunnah yang menyangkut hukum. Ketika selesai menyusun kitabnya itu kepada Imam Ahmad bin Hanbal, dan Ibn Hanbal memujinya sebagai kitab yang indah dan baik.
Abu Dawud dalam sunannya tidak hanya mencantumkan hadits-hadits shahih semata sebagaimana yang telah dilakukan Imam Bukhari dan Imam Muslim, tetapi ia memasukkan pula kedalamnya hadits shahih, hadits hasan, hadits dha’if yang tidak terlalu lemah dan hadits yang tidak disepakati oleh para imam untuk ditinggalkannya. Hadits-hadits yang sangat lemah, ia jelaskan kelemahannya.
Cara yang ditempuh dalam kitabnya itu dapat diketahui dari suratnya yang ia kirimkan kepada penduduk Makkah sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan mereka mengenai kitab Sunannya. Abu Dawud menulis sbb:
“Aku mendengar dan menulis hadits Rasulullah SAW sebanyak 500.000 buah. Dari jumlah itu, aku seleksi sebanyak 4.800 hadits yang kemudian aku tuangkan dalam kitab Sunan ini. Dalam kitab tersebut aku himpun hadits-hadits shahih, semi shahih dan yang mendekati shahih. Dalam kitab itu aku tidak mencantumkan sebuah hadits pun yang telah disepakati oleh orang banyak untuk ditinggalkan. Segala hadits yang mengandung kelemahan yang sangat ku jelaskan, sebagai hadits macam ini ada hadits yang tidak shahih sanadnya. Adapun hadits yang tidak kami beri penjelasan sedikit pun, maka hadits tersebut bernilai salih (bias dipakai alasan, dalil), dan sebahagian dari hadits yang shahih ini ada yang lebih shahih daripada yang lain. Kami tidak mengetahui sebuah kitab, sesudah Qur’an, yang harus dipelajari selain daripada kitab ini. Empat buah hadits saja dari kitab ini sudah cukup menjadi pegangan bagi keberagaman tiap orang. Hadits tersebut adalah:
Pertama: “Segala amal itu hanyalah menurut niatnya, dan tiap-tiap or memperoleh apa yang ia niatkan. Kerana itu maka barang siapa berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya pula. Dan barang siapa hijrahnya kerana untuk mendapatkan dunia atau kerana perempuan yang ingin dikawininya, maka hijrahnya hanyalah kepada apa yang dia hijrah kepadanya itu.”
Kedua: “Termasuk kebaikan Islam seseorang ialah meninggalkan apa yang tidak berguna baginya.”
Ketiga: “Tidaklah seseorang beriman menjadi mukmin sejati sebelum ia merelakan untuk saudaranya apa-apa yang ia rela untuk dirinya.”
Keempat: “Yang halal itu sudah jelas, dan yang haram pun telah jelas pula. Di antara keduanya terdapat hal-hal syubhat (atau samar) yang tidak diketahui oleh banyak orang. Barang siapa menghindari syubhat, maka ia telah membersihkan agama dan kehormatan dirinya; dan barang siapa terjerumus ke dalam syubhat, maka ia telah terjerumus ke dalam perbuatan haram, ibarat penggembala yang menggembalakan ternaknya di dekat tempat terlarang. Ketahuilah, sesungguhnya setiap penguasa itu mempunyai larangan. Ketahuilah, sesungguhnya larangan Allah adalah segala yang diharamkan-Nya. Ingatlah, di dalam rumah ini terdapat sepotong daging, jika ia baik, maka baik pulalah semua tubuh dan jika rusak maka rusak pula seluruh tubuh. Ingatlah, ia itu hati.”

Demikianlah penegasan Abu Dawud dalam suratnya. Perkataan Abu Dawud itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
Hadits pertama adalah ajaran tentang niat dan keikhlasan yang merupakan asas utama bagi semua amal perbuatan diniah dan duniawiah.
Hadits kedua merupakan tuntunan dan dorongan bagi ummat Islam agar selalu melakukan setiap yang bermanfaat bagi agama dan dunia.
Hadits ketiga mengatur tentang hak-hak keluarga dan tetangga, berlaku baik dalam pergaulan dengan orang lain, meninggalkan sifat-sifat egoistis, dan membuang sifat iri, dengki dan benci, dari hati masing-masing.
Hadits keempat merupakan dasar utama bagi pengetahuan tentang halal haram, serta cara memperoleh atau mencapai sifat wara’, yaitu dengan cara menjauhi hal-hal musykil yang samar dan masih dipertentangkan status hukumnya oleh para ulama, kerana untuk menganggap enteng melakukan haram.
Dengan hadits ini nyatalah bahawa keempat hadits di atas, secara umum, telah cukup untuk membawa dan menciptakan kebahagiaan.

Pendapat Ulama Terhadap Kedudukan Kitab Sunan Abu Dawud
Tidak sedikit ulama yang memuji kitab Sunan ini. Hujatul Islam, Imam Abu Hamid al-Ghazali berkata: “Sunan Abu Dawud sudah cukup bagi para mujtahid untuk mengetahui hadits-hadits ahkam.” Demikian juga dua imam besar, An-Nawawi dan Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah memberikan pujian terhadap kitab Sunan ini bahkan beliau menjadikan kitab ini sebagai pegangan utama di dalam pengambilan hukum.

Hadits-Hadits Abu Dawud Yang Mendapat Kritik
Imam Al-Hafiz Ibnul Jauzi telah mengkritik beberapa hadits yang dicantumkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya dan memandangnya sebagai hadits-hadits maudhu’ (palsu). Jumlah hadits tersebut sebanyak 9 buah hadits. Walaupun demikian, disamping Ibnul Jauzi itu dikenal sebagai ulama yang terlalu mudah memvonis “palsu”, namun kritik-kritik telah ditanggapi dan sekaligus dibantah oleh sebahagian ahli hadits, seperti Jalaluddin as-Suyuti. Dan andaikata kita menerima kritik yang dilontarkan Ibnul Jauzi tersebut, maka sebenarnya hadits-hadits yang dikritiknya itu sedikit sekali jumlahnya, dan hampir tidak ada pengaruhnya terhadap ribuan hadits yang terkandung di dalam kitab Sunan tersebut. Kerana itu kami melihat bahawa hadits-hadits yang dikritik tersebut tidak mengurangi sedikit pun juga nilai kitab Sunan sebagai referensi utama yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahanya.

Jumlah Hadits Sunan Abu Dawud
Di atas telah disebutkan bahawa isi Sunan Abu Dawud itu memuat hadits sebanyak 4.800 buah hadits. Namun sebahagian ulama ada yang menghitungnya sebanyak 5.274 buah hadits. Perbedaan jumlah ini disebabkan bahawa sebahagian orang yang menghitungnya memandang sebuah hadits yang diulang-ulang sebagai satu hadits, namun yang lain menganggapnya sebagai dua hadits atau lebih. Dua jalan periwayatan hadits atau lebih ini telah dikenal di kalangan ahli hadits.

Abu Dawud membagi kitab Sunannya menjadi beberapa kitab, dan tiap-tiap kitab dibagi pula ke dalam beberapa bab. Jumlah kitab sebanyak 35 buah, di antaranya ada 3 kitab yang tidak dibagi ke dalam bab-bab. Sedangkan jumlah bab sebanyak 1,871 buah bab.